Cinta Begini

Laut.
Entah apa yang akan kamu pikirkan saat berada di antaranya. Entahlah. Aku selalu bisa menyungging senyuman saat didekatnya, didekatmu. Memberiku sejuta kenangan, tentangmu. Hamparannya yang toska. Luas sepanjang mata memandang, seolah tak terbatas.  Tarian indah ikan-ikan kecil yang melompat. Ketika lukisan jingga bernama senja muncul, maka aku akan berdiam lama menatapnya. Seolah waktu memberikan jeda sesaat untuk membayang senyummu.
“Nu, bagaimana keadaanmu? Aku masih menyukai senja, seperti yang kamu ajarkan dulu..”

Pernahkah kamu berlari. Sejauh mungkin. Kemana saja. Tanpa arah.
Ketika aku berpikir, mungkin itu yang terbaik.
Jingga ini selalu mengingatkanku padamu. Warna air wajahmu. Ocehanmu. Kamu membenci gombalan, tapi selalu tertawa mendengar aku yang menggombal. Andai kamu tau.
Entah siapa yang patut salah, mungkin kamu, mungkin aku. Ya! Aku saja.
“biar aku yang pergi kak. Aku gak pa-pa”
Bagaimana kamu berpikir semudah itu? Sementara ada separuh hatiku yang tak menerima itu!
“kita hanya teman kan?”
Aku diam. Baru kusadari semua egoku. Aku benci situasi ini. Kau benar! Ikrar kita hanyalah teman, sedari awal. Dan aku menyakitimu dengan cara seperti itu.
Tak ada yang tau kemudian. Aku dan kamu seperti berjarak jutaan kilometer. Jauh.
Dan aku berlari lagi. Entah dari apa. Entah kemana.

***

Kamu masih seperti dirimu yang dulu. Cuek dan ala kadarnya. Rambut sebahu yang asal ikat ekor kuda, tak beraturan. Kemeja dan rok dibawah lutut. Sepatu kets, plus kacamata minus 2 dengan frame-nya yang bengkok, tak sengaja kamu duduki.
“malas diganti. Biarin deh!” asalmu menjawab
“aku gak pe-de pake kontak lens” alasan lain darimu untuk menghindar. Padahal aku tau alasan yang sebenarnya. Ibumu dikampung jauh lebih butuh uang itu.
Menggaruk kepalamu yang tak gatal.
“kenapa Nu?”
“lagi mikir kak..” aku hanya geleng-geleng kepala.
Ronamu yang masih juga seperti dulu. Mengkerut lucu tak beraturan. Bagaimana aku bisa lupa Nu?

***

“Lis..”
“kenapa?” Elisa menatapku heran.
“aku berasa diliatin, ada yang salah ya?” Kutatap dandananku yang ala akadarnya itu. Benar-benar ala kadar. Masih untung memakai sepatu bukan sandal seperti biasanya. Gak ada yang salah.
“perasaan kamu aja kali” Lisa ikut-ikutan menatap dandananku.
“mungkin” aku mengangkat bahu
“TAKSI….”

Dari dalam taksi sebuah lagu mengantar perjalanan 5 menit itu.

                Kembalilah pada dirinya, biarku yang mengalah, aku terima..

Aku terima kak.

Sepanjang itu juga aku hanya menatap lalu lintas jalan yang lumayan ramai. Untungnya tak begitu macet. Satu nama yang juga mengiringinya. Marcell. Dia seperti sengaja menjauh. Menghilang. Padahal kita saling mengetahui kontak masing-masing. Hm.. aku tak mungkin memulai. Biarlah saja.

***

Marcell masih menatap hingga taksi yang membawa Nuri dan Elisa menghilang diujung jalan. Diambilnya E7 dari dalam saku dan mengetik sebuah pesan pendek. Benar-benar pendek.

To: Elisa
Pesan: thanks
Sent

Sebuah senyum kotak kecil terbungkus beludru hitam dikeluarkan dari saku celananya.
Cincin. Sederhana. Indah. Digenggamnya erat.
“aku akan kembali Nu…”

Comments

Popular posts from this blog

Friend Love Ship ~ Ifa Avianty

Senja Bersama Rosie ~ Darwis Darwis

Ferry Spot ~ KMP Tenggiri