Cinta Tanpa Syarat
Seperti alam memenuhi sabda Tuhannya.
Seperti hujan yang membasahi bumi, menghidupkan tetumbuhan, memberikan aroma kehidupan, tanpa pernah alpa sekalipun.

Setiap hari, ia akan bangun pada jam 3 subuh. Mungkin menyempatkan diri untuk bermunajat sebentar.
Lalu melanjutkan aktifitas rutinnya. Menanak nasi, menyiapkan ini itu, mengejar pagi.
Saat azan subuh, ia akan berhenti sejenak. Kembali bersimpuh kehadapan Sang Khalik. Bersyukur untuk setiap nafas yang telah diberikan. Tak lupa membangunkan dua putrinya yang dengan akan sangat bermalasan ria menjawab: sadiki lai Ma… masih manganto.. dan melanjutkan tidurnya. :D
Sejak kepergian papa, dialah tumpuan kami, tempat kami menyandarkan setiap keluh kesah tentang kehidupan yang entah sudah berwarna apa.
Ketika jam 6 pagi, ia akan berangkat, sekali lagi lantang berteriak tentang sarapan kami yang sudah tersedia di meja makan.
Ia menuju pasar. Merengkuh rizki untuk anak-anaknya. Memastikan dapur tetap mengepul. Menggantikan posisi papa sekaligus.
Aku tak pernah malu mengakuinya. Mamaku, seorang penjual makanan pagi di pasar. Menyekolahkanku dengan keringatnya. Dan akan tetap membelikan baju baru ketika lebaran tiba. Ia tak pernah membuat kami merasa kekurangan dalam keterbatasan.
Tangan halusnya tak lagi ada, tapi tetap setia memijat bahu-bahu kami yang lelah.
Rambutnya tak lagi hitam, kini bercampur sedikit warna putih, kau tak muda lagi Ma..
Mungkin terlihat jarang ia tersenyum, kecuali ketika ia asik bermain dengan 3 cucu-nya. Salsa, Rahma, dan si bungsu Fathir. Malaikat kecil keluarga kami.
Aku pernah berdebat dengannya. Membuatku dan dirinya sama-sama menangis karena tak menemukan jalan keluar. Tapi esok paginya, ia tetap menyediakan sarapan pagi dan menyetrika bajuku.
Itulah cinta yang ia berikan. Kadang marah, kadang diam. Kadang salah mengartikan. Seolah-olah ia tak sayang.
Tapi bertahun-tahun ditemaninya, aku semakin mengerti. Kadang cinta tak harus memeluk, tak harus mengecup kening. Cukup dengan membersamaimu, menemani setiap uban yang bermunculan, satu-satu.
Maka mimpinya adalah mimpiku kini. Tak perduli terbilang tahun aku mengejarnya. Tak jengah meski aku harus bersimpangan jalan dengan mimpiku sendiri.

Ketika waktu tak pernah berhenti, menari, melaju. Seketika mimpi adalah ukiran namamu. Semua tuju adalah senyummu. Terbilang jutaan terima kasih, tak kan pernah cukup. Hanya titipan do’a pada Sang Maha Kasih tak pernah luput pada sujud kami.
Panjangkan umurnya Rabbi..
Lindungilah ia dari segala kejatahan makhluk-Mu.
Jagalah ia dengan penjagaan-Mu yang Maha Sempurna.
Sayangilah ia, sebagaimana ia menyayangiku sedari kecil..

Untuk semua kalimat yang belum terucap,
Selamat Hari Ibu Ma. Kami, aku mencintaimu karena Allah…
Peluk cium anakmu (juga untuk papa) – Nurul
20.12.2012, 11:25

Comments

Popular posts from this blog

Friend Love Ship ~ Ifa Avianty

Senja Bersama Rosie ~ Darwis Darwis

Ferry Spot ~ KMP Tenggiri