.B.I.N.G.K.A.I.


Dian berdiri di atas panggung megah itu. Sejenak semua yang hadir terdiam. Semua mata tertuju padanya sekarang.
Dug…dug… jantungnya berdegup kencang lagi., ternyata penyakit demam panggungnya belum juga teratasi.
“assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..”
Suaranya tercekat. Dian menelan ludah. Entah apa yang akan ia ucapkan. Toh, ia hanya dijadikan “tumbal” oleh sahabat-sahabatnya.
“lagian cuma sepatah dua kata koq Yan. Dikit aja kan?”. Ali memulai duluan.
“semangat pagi , sekian dan terima kasih. Tuh juga udah…m…m… enam kata…”. Septi nyengir sambil menghitung jumlah katanya.
“ayolah Yan… tolonglah sahabat-sahabatmu ini. Kamu kan jagonya ngomong di depan kelas. ..”
“haha… iya! Waktu kamu presentasi semuanya pada tidur!!”
“eh, aku gak tidur koq!”. Ewi membantah.
“iya Wi, kamu gak tidur tapi maen liank’liank!”
“bukan liank-liank tapi strong holder…”
“Bukan…bukan…! Tutup botol!”
“haha :D…”
“mending aku daripada kamu Nis, NARSIS! Foto-foto sendirian di belakang. !”
“lho! Aku gak foto-foto koq. Tapi lagi nonton Harry Potter hehe..!”. Nisa nyengir
“haha…”
Dan begitulah seterusnya . tawa diantara mereka pecah lagi. Memecah sunyi di tangga Asrama Kartini. Sudah hampir jam 11 malam ketika nostalgia masa-masa konyol itu terhenti.

Sejenak Dian menatap ke sekeliling aula. Dari atas panggung dia bisa melihat semua yang hadir. Termasuk 24 sahabatnya. Bayu mengepalkan tangannya seperti pejuang yang berteriak “merdeka!”, namun ia hanya bergumam “semangat Yan!!”. Sedangkan Chiqo dan Andre sedang mengguncang badan Septi… Hm…. Sepertinya kapanpun, dimanapun tak menjadi masalah baginya untuk sedikit “bermimpi”. Memel… seperti yang sudah bisa ditebak, dia sudah menangis duluan, sedari tadi sejak acara dimulai.
Dian menarik nafas panjangnya sekali lagi….
“ayah saya meninggal 2 hari yang lalu…”
Seperti sihir kalimat yang diucapkan Dian, membuat seisi aula seperti bisu. Menunggu Dian melanjutkan kalimatnya. Dan Dian membiarkan jeda akibat ucapannya itu sejenak…
“pertama kali bertemu, orang akan mengenal saya sebagai anak yang hidup dengan cukup. Mungkin karena mereka melihat bahwa saya sama seperti mereka, bisa membeli ini dan itu, tas, sepatu, baju, dan bisa bersekolah seperti mereka. Tapi... Tidak juga! Yang sebenarnya adalah ayah dan ibu hanya lulusan SMP. Jadi wajar saja jika ayah hanya seorang buruh kasar pengangkut barang dan ibu hanya penjual makanan pagi dipasar.
Dan saya bangga mengatakan bahwa anak sepasang buruh dan penjual makanan pagi bisa meraih gelar Sarjananya hari ini. Berkat semua keringat lelah yang mereka kuras.
Dan jika anda mengira bahwa saya tidak bersedih kehilangan dia, maka saya pastikan bahwa anda salah!!. Saya sedih, rasanya ingin menangis setiap waktu. Namun saya tau bahwa saya memiliki orang-orang yang menyayangi saya dengan tulus, orang-orang yang takkan membiarkan saya menangis, orang-orang yang akan menemani dikala saya sendiri dan membuat saya tersenyum lagi. Orang-orang yang saya sebut mereka sebagai keluarga dan sahabat. Sahabat yang menjadi keluarga kecil, walau mungkn kami saling mengenal hanya dalam hitungan 6 bulan, tapi mereka adalah keluarga ke-2 yang kembuat saya tersenyum menghadapi semua ini. Merekalah yang tak membiarkan saya sendiri dan menangis lagi…
Sejak kecil ayah selalu menasehati : ‘jadilah anak yang baik dan jangan cengeng!’. Saya ingin jadi anak baik.!
Dan jika hari ini saya sudah menjadi anak baik karena tidak menangisi kepergiannya lagi, dan andai Tuhan memberikan hadiah berupa satu do’a yang pasti akan dikabulkannya,maka SUNGGUH! Saya ingin ayah ada disini….

Tapi bukan itu yang akan saya pinta. Yang akan saya pinta adalah ‘Tuhan… jaga dan sayangi keluarga saya… jaga dan sayangi sahabat-sahabat saya, izinkan kami terus bersama hari ini… esok… esok… esok… esok… esok… selamanya…’ (amiin…)
Dari merekalah saya belajar untuk mengerti bahwa Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang bukan dengan tujuan yang sia-sia… “

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Friend Love Ship ~ Ifa Avianty

Senja Bersama Rosie ~ Darwis Darwis

Ferry Spot ~ KMP Tenggiri